Hai Tuhan, perkenalkan. Aku Nur
Cahya Ariani. Aku hanya ingin menuliskan surat kecil untuk-Mu, karena dengan
Engkau-lah aku dapat bercakap sesuka hatiku, dan disaat kapan-pun aku mau. Aku
berharap, Engkau bisa membaca surat yang berisikan tentang diriku, dan mengerti
apa yang sedang aku rasakan…
Tuhan, jika boleh kutanya, apakah kamu selalu melihatku? Dimana-pun aku berada? Dan kapan-pun aku singgah? Tak perlu Engkau jawab, aku percaya pasti Engkau melihatku—segelintir hamba-Mu yang berada diantara jutaan umat mahkluk ciptaan-Mu lainnya. Dan aku percaya, penglihatan-Mu pasti tak akan lengah untuk melihatku.
Tuhan, aku hanya ingin bercerita kepada-Mu. Mungkin hanya Kamu yang bisa mengerti perasaanku saat ini, untuk itulah aku mau Tuhan bisa memberi jawaban dari segala apa yang aku rasakan, dan memberi solusi apa yang harus aku lakukan.
Tuhan, jika boleh kutanya, apakah kamu selalu melihatku? Dimana-pun aku berada? Dan kapan-pun aku singgah? Tak perlu Engkau jawab, aku percaya pasti Engkau melihatku—segelintir hamba-Mu yang berada diantara jutaan umat mahkluk ciptaan-Mu lainnya. Dan aku percaya, penglihatan-Mu pasti tak akan lengah untuk melihatku.
Tuhan, aku hanya ingin bercerita kepada-Mu. Mungkin hanya Kamu yang bisa mengerti perasaanku saat ini, untuk itulah aku mau Tuhan bisa memberi jawaban dari segala apa yang aku rasakan, dan memberi solusi apa yang harus aku lakukan.
Kulihat, mereka bercanda bersama,
menampakan senyum, begitu juga menggelakkan tawa. Saling menyapa dan disapa.
Saling bekerja sama dalam suasana suka maupun duka. Setiap kali kulihat,
matanya berbinar, terhias senyum simpul yang mereka ukirkan. Bersama.
Dan aku, duduk terdiam manis disini.
Disini dan selalu disini. Tak menggerakkan kaki untuk menghampiri mereka, dan
tak membuka mulut untuk menyapa mereka. Karena aku sudah menyadari, aku
tersingkirkan dari mereka. Tuhan, kenapa harus aku? Kenapa ini yang harus aku
dapatkan dari seperampat hidupku? Apa yang salah dari keadaanku sehingga mereka
tak pernah menganggap keberadaanku? Aku bosan, jika aku harus menguunci
rapat-rapat mulutku. Aku lelah, jika harus duduk diam terpaku tanpa merasakan
kebersamaan bersama mereka. Aku hanya ingin menjadi salah satu diantara mereka,
dianggap dan diakui bahwa aku ada diantara mereka..
Setiap kali, aku selalu
berangan-angan. Kapan aku duduk manis dan membicarakan hal tak penting bersama
mereka. Lain lagi, kapan aku bisa bernyanyi-nyanyi setiap jam pelajaran tak
mengisi kelas kami. Hal lain, kapan aku bisa mendengarkan curhat-curhatan dari
mereka. Dan, kapan angan-angan yang berawal “kapan” bisa terwujudkan?
Tuhan, aku tak tahu cara yang harus
aku lakukan. Aku enggan, jika terang-terangan aku mengucapkan kepada mereka
bahwa aku ingin seperti mereka. Karena aku mau, mereka yang menghapmiriku, dan
mengatakan “ayo gabung bersama kita”. Iya, kata kita. Dimana kata yang secara
tidak langsung menyatakan bahwa aku didalam dan diantara dekapan mereka.
Tetapi, kapan? Aku lelah berandai-andai jika nyatanya aku sudah tak dianggap
oleh mereka. Dan kenyataannya memang sulit terjadi, jika tiba-tiba mereka menghampiriku
dan mengajak bercanda bersama disaat waktu yang tak kuduga. Untuk itu,
bagaimana aku bisa menyebut bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah?
Tuhan, hanya itu yang dapat aku
ceritakan. Semoga dengan apapun cara-Mu, Engkau bisa menyadarkan mereka bahwa
aku ingin kebersamaan, dan keberadaanku dianggap. Dengan surat ini kutuliskan,
dan semua perasaan kutitipkan. Tuhan, kumohon kabulkan…
-(mungkin)denganhati-
NurCahyaAriani
NurCahyaAriani